Sujud Mengetuk Pintu Langit

Author: Mustofa – Staff Manajemen Tunas Cendekia

Semua berharap bahwa amalan-amalan di bulan Ramadlan bisa diterima oleh Allah SWT. Dengan sekuat hati do’a-do’a dipanjatkan siang dan malam, dilakukan karena mengingat bulan puasa merupakan momentum yang sangat tepat untuk melakukan penghambaan terhadap Tuhannya dengan cara taqorrub, mendekatkan diri pada Allah SWT hingga melakukan muhasabah, introspeksi diri memohon ampunan.

Memohon ampunan kepada Allah SWT biasanya dilakukan dengan pertaubatan tidak akan mengulanginya lagi. Bertaubat sering dilakukan saat kita sholat dan di dalam sholat ada yang namanya bersujud. Bersujud bisa diyakini sebagai upaya kita mengetuk pintu langit, karena dalam bersujud hampir tidak ada hijab yang menghalangi komunikasi kita dengan Allah SWT.

Sujud merupakan kondisi yang paling dekat antara hamba dengan Allah. Posisi orang bersujud dengan tulus, ikhlas menempelkan wajahnya pada permukaan bumi di tempat yang paling terendah. Artinya, siapapun yang sedang bersujud sejatinya sedang menghancurkan kesombongan, logika dan akal pikirannya, dan sedang meninggikan kebenaran mutlak Rabbnya. Gambaran manusia yang semakin tua semakin merunduk dan membungkuk seperti yang tercermin dalam filosofi sujud.

Mengapa Kita Harus Bersujud

Sayidina Ali mengingatkan kita filosofi dua sujud. Sujud pertama mengingatkan kita bahwa manusia berasal dari tanah. Dari tanah ia diciptakan dan tumbuh menjadi makhluk hidup yang diberi kepercayaan sebagai khalifah di bumi dengan segala aktivitasnya. Meski demikian, setiap manusia mempunyai ajal, masuk ke liang lahat, dan pada akhirnya ia akan kembali menjadi tanah.

Semua manusia meskipun sudah kembali menjadi tanah akan dibangkitkan kembali pada hari kebangkitan (yaum al-bi’ts) untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan yang pernah dilakukan ketika berada “di antara dua sujud”, yaitu di alam fana, dunia ini. Kebangkitan dari sujud kedua disebut juga sujud terakhir karena tidak ada lagi sujud ketiga. Pada hari kebangkitan, “bumi sudah digulung.” Selanjutnya manusia akan hidup di dalam keabadian hari akhirat.

Dalam kitab Futuhat al-Makkiyyah karya Ibn ‘Arabi, diceritakan panjang lebar tentang makna spiritual sujud. Bagi Ibn ‘Arabi, sujud adalah simbolisasi penghayatan kita terhadap asal-usul peciptaan kita yang berasal dari tanah. Dikatakan juga, berdiri dalam shalat adalah simbol alam syahadah, sujud adalah simbol puncak rahasia (sir al-asrar), dan rukuk dianggap simbol alam barzakh karena berada antara alam syahadah dan gaib mutlak.

Orang-orang yang sujud sesungguhnya orang yang diberi kesempatan Tuhan untuk mengikis kesombongan dan keangkuhan. Sehebat apa pun manusia akan kembali ke tanah, ketika kembali menyatu dengan tanah tidak bisa lagi dibedakan antara jenis tanah raja dan tanah budak, tanah laki-laki dan tanah perempuan, tanah orang yang kulit putih dan tanah kulit hitam.

Orang yang menghayati hakikat sujud ia akan merasakan sujudnya terlalu pendek. Tidak heran jika Sayidatina ‘Aisyah RA pernah menggambarkan lama sujudnya Nabi di dalam shalat malamnya seperti panjangnya orang yang membaca surah al-Baqarah. Hal itu bisa dimaklumi karena jika dalam rukuknya saja bisa menyaksikan pemandangan ‘Arasy, apalagi dalam sujud. Rukuk biasa disebut sebagai fana pendahuluan (al-fana’ al-awwal), sedangkan sujud disebut fana utama (al-fana’ al-kamil).

Mungkin dari sinilah mengapa Nabi mengingatkan sahabatnya membaca dan menghayati ayat: Fasabbih bi ismi Rabbik al-‘Adhim (bertasbihlah dengan Nama Tuhanmu Yang Mahabesar/QS al-Waqi’ah [56]:96), dan ketika sujud memerintahkan untuk membaca dan menghayati ayat: Sabbih ism Rabbik al-A’la (bertasbihlah dengan Nama Tuhanmu Yang Mahatinggi/QS al-Haqqah [69]:52).

Terinspirasi dari ayat-ayat tersebut sehingga formulasi bacaan dalam rukuk ialah “Subhana Rabbiy al-‘Adhim wa bihamdih” dan dalam sujud “Subhana Rabbiy al-A’la wa bihamdih“. Jika kita mampu menghayati makna dan hakikat sujud sebagaimana digambarkan di atas, niscaya shalat kita sudah menjadi “shalat langit” bukan lagi “shalat bumi”. Sebagaimana ilustrasi yang disampaikan oleh Nabi, “Ada dua umatku mengerjakan shalat. Sama-sama berdiri, rukuk, dan sujud, tetapi perbedaan kualitas shalatnya antara bumi dan langit”.

Wallohu a’lam

Leave a Reply