Malam Lailatul Qodar Dan Kearifan Lokal Nusantara

Author: Mustofa – Staff Manajemen Tunas Cendekia

Untuk pertama kali penulis menulis tentang Malam Lailatul Qodar di muat di harian koran Radar Cirebon tahun 2007 dengan judul “Bu Laila dan Pak Qodar di Bulan Suci”. Dalam tulisan itu tidak mengupas secara detail Malam Lailatul Qodar tapi menceritakan kesalihan sebuah keluarga dalam menjalankan ibadah bulan Ramadlan hingga berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meraih Malam Lailatul Qodar.

Pada kesempatan kali ini, penulis mencoba menulis tentang Malam Lailatul Qodar secara singkat sekaligus menelisik tradisi kearifan lokal di Nusantara dalam menyambut malam yang keutamaannya dilipatkan sama dengan seribu bulan.

Malam Lailatul Qodar memiliki makna yang begitu luas, karena itulah umat Islam yang mengimaninya mempersiapkan dirinya untuk mendapatkan keberkahan malam itu. Imam Al-Razi dalam kitabnya “Mafatihul Ghaib” menjelaskan, setidaknya ada tiga alasan mengapa malam itu disebut Malam Lailatul Qodar.

Al-Qodar memiliki arti takaran atau ukuran. Allah SWT menetapkan segala perkara dengan segala ukuran atau takaran-Nya, termasuk di dalamnya adalah perkara yang berkaitan dengan hukum. Dalam Hadist yang diriwayatkan Ibnu Abbas r.a. bersabda bahwa malam tersebut di setiap tahun Allah SWT menetapkan hujan, rejeki, hidup, dan mati serta segala perkara lainnya untuk satu tahun ke depan.

Al-Qodar memiliki arti Al-‘Adzomah atau keagungan dan Al-Isyaraf atau kemuliaan. Disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Qodr ayat: 3 “Malam Kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan”.

Kemuliaan yang dimaksud mencakup dua hal, yaitu dari sisi seorang hamba ataupun kegiatan yang dilakukan. Dari sisi seorang hamba, maksudnya adalah siapapun umat Nabi Muhammad SAW yang melakukan kebaikan pada malam tersebut maka ia akan memiliki nilai lebih dan menjadi mulia.

Al-Qodar bermakna Al-Dayyiq atau sempit. Dinamakan demikian karena pada malam itu bumi dipenuhi para malaikat sehingga bumi terasa sempit. Allah SWT berfirman: “Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadr; 4-5)

Tradisi Malam Selikuran di Nusantara

Di masyarakat Jawa ada tradisi dengan istilah Malam Selikuran atau malam ganjil di 10 hari terakhir di bulan ramadlan. Diambil dari kata Selikur yang berarti 21, Selikur juga diartikan “Sing Linuwih Ing Tafakur” yang berarti usaha untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.

Sing Linuwih Ing Tafakur merupakan ajakan untuk lebih giat mendekatkan diri pada Allah dan diharapkan menjadi sarana pengingat untuk memperbanyak sedekah, merenung dan instrospeksi, juga meningkatkan ibadah.

Keraton Surakarta Solo tergolong rajin menyelenggarakan malam Selikuran setiap tahunnya. Malam selikuran di Keraton Surakarta dilakukan dengan mengarak 1.000 tumpeng yang diiringi dengan lampu ting atau lampu pelita dari keraton menuju Masjid Agung.

Sedangkan di Keraton Yogyakarta acara menyambut Selikuran dengan menyediakan besek atau kotak nasi dari anyaman bambu berisi nasi dan lauk pauk. Di tempat yang sama ada buah-buahan, susunan nasi bungkus serta Jodhang yang berupa kotak kayu besar yang digunakan untuk memikul makanan ke bangsal. Nantinya makanan dibagikan kepada seluruh peserta sebagai sedekah dari sultan.

Lain lagi dengan tradisi di Keraton Cirebon. Di Cirebon ada tradisi menyalakan damar malam, sejenis obor yang terbuat dari bilahan bambu saat menjelang ibadah puasa berakhir. Hingga kini tradisi tersebut masih dilakukan oleh masyarakat Cirebon. Kalangan komplek keraton di Komplek Makam Sunan Gunungjati menyalakan damar malam hanya pada malam ganjil dan biasanya setelah dinyalakan diletakkan pada sudut rumah.

Wallohu a’lam

Leave a Reply