FILOSOFI JALAN KAKI

Author: Mustofa – Staff Manajemen Tunas Cendekia

Ramadlan hari ke-15 penulis akan membahas orang-orang hebat terdahulu yang terbiasa melakukan perjalanan jauh, para pejalan kaki. Di jaman sekarang sangat jarang menemukan orang yang berjalan kaki menempuh jarak yang jauh dengan tujuan tertentu. Dengan segala kemudahan yang ada, untuk keperluan belanja ke minimarket yang jaraknya hanya 20 meter saja harus berkendara sepeda motor.

Banyak dari teman-teman yang mobilitasnya tinggi, memiliki kesibukan yang bejibun hingga memaksa kita untuk menggunakan kendaraan roda empat. Ini bisa menimbulkan permasalahan baru yaitu kemacetan di jalan raya, polusi udara, dan semakin menipisnya bahan bakar minyak (BBM) hingga kita harus berpikir ulang, bagaimana manusia bisa menemukan pengganti BBM untuk kehidupan anak cucu nanti dimasa depan.

Sekalipun cara manusia untuk menempuh perjalanan dengan jalan kaki hampir tidak ada, mari kita kupas manfaat dibalik berjalan kaki, apakah itu termasuk olah raga biasa? Ataukah itu merupakan ritual spiritual untuk mencari ketenangan dan untuk mencapai tujuan tertentu, dalam hal ini Sang Khalik.

Ada sebuah buku inspiratif “Philosophy of Walking” karya Frederic Gross, beliau menulis dalam buku itu bahwa jalan kaki tidak sekedar melangkahkan kaki hingga lelah dan berkeringat. Ada hal lain yang membuat jalan kaki itu bisa menggetarkan jiwa, menyentuh hati, membuat kita tertawa atau sedih hingga meneteskan air mata. Beliau adalah pegiat kajian filsafat asal Prancis, negeri yang telah melahirkan Rene Descartes (1596-1650), Jean Jacques Rosseau (1712-1778), Michel Foucault (1926-1984), Jacques Derrida (1930-2004), dan banyak filosof lainnya.

Para Pejalan Kaki Hebat

Nenek moyang kita dahulu adalah pejalan kaki hebat. Sebut saja Nabi Adam a.s. bersama Hawa. Setelah dipindahkan ke bumi, mereka berjalan kaki menempuh banyak daerah yang jauh, hingga sampai ke bukit cinta Arafat di Hijaz. Kini puncaknya menjadi tempat para jomblo menempelkan fotonya dengan harapan Allah akan segera mempertemukan jodoh mereka.

Dari Arafah, Adam dan Hawa berjalan kaki hingga ke Muzdalifah untuk beristirahat sejenak. Kemudian melanjutkan langkah kaki menuju Ka’bah untuk tawaf, dan seterusnya hingga dijadikan bentuk perjalanan ibadah haji di kemudian hari.

Sokrates dikisahkan gemar berjalan pada pagi hari di sekitar Agora atau area perkumpulan masyarakat. Plato (427 SM – 347 SM) berjalan kaki mondar mandir saat mengajarkan filsafat kepada muridnya. Aristoteles (384 SM – 322 SM) berjalan kaki bersama para muridnya sambil menerangkan dewa dewi, alam, dan kehidupan, sehingga membuat kagum orang-orang sekitar.

Karena sambil berjalan kaki, filsafat Yunani kerap disebut filsafat paripatetik. Tradisi Islam menyebutnya Masyaiyah. Asal katanya Masya dan Yamsyi yang berarti berjalan kaki. Pada dasarnya paripatetik bermakna berjalan, namun secara istilah, filsafat paripatetik bermakna filsafat yang merujuk kepada Aristoteles.

Ada filosof asal Jerman Friedrich Nietzche (1844-1900), seorang kutu buku yang biasanya berkutat di perpustakaan setiap hari, kemudian pindah ke jalanan. Dia menapaki tanah-tanah para pejalan kaki, berpapasan dengan orang-orang yang hendak berangkat kerja, menyaksikan mereka yang bersepeda atau mengendarai kendaraan bermotor yang memacu kecepatannya. Nietzche menyaksikan mereka semua, tapi kemudian si filosof satu ini punya hal lain yang jauh lebih menarik. Ini adalah hal yang membangkitkan hormon positif, sehingga memacu dirinya menghasilkan karya besar, yang menjadi bacaan orang sampai ratusan tahun setelah dirinya tutup usia.

Kemudian ada cerita penulis Henry David Thoreau (1817-1862). Ia adalah orang yang senang sekali berjalan kaki dalam kesehariannya. Dari kebiasaan sehat itu dia menjadi energik menulis karya besar seperti Civil Disobedience (Pemberontakan Sipil). Ini adalah bacaan wajib orang kiri dan mereka yang tidak terima dengan status quo dengan segala praktik kezaliman di dalamnya. Mereka yang hidup pada abad ke-19 bahkan hingga saat ini, akan tertarik membaca Civil Disobedience sebagai panduan orang untuk menyikapi status quo yang dianggap sebagai ‘keadaan sakral’ yang tak perlu diubah.

Presiden Amerika Serikat ke-44, Barrack Obama adalah orang yang gemar berjalan kaki. Dalam beberapa video tampak presiden kelahiran Hawai ini melangkahkan kaki berjabat tangan dengan orang-orang sekitar, berfoto bersama mereka, dan membeli burger.

A Philosophy of Walking mengajarkan kita bagaimana asyiknya berjalan kaki: menempuh jarak yang jauh, namun tidak membuat lelah dan membosankan. Setelah itu bisa menghasilkan banyak kitab atau banyak buku. Masih malu jalan kaki? Ya sudah naik sepeda motor saja cukup.

Wallohu a’lam

Leave a Reply